Pages

Jumat, 09 Desember 2011

cerpen masa SMA

Diposting oleh ananalia di 06.05

Tak Semuanya Terlambat Untukku
Pagi ini mendung memayungi kotaku, “solo”, begitulah orang senantiasa menyebut kota kecil yang senantiasa damai nan tenteram ini. Sambil melihat rintik hujan di luar jendela, kurebahkan diriku pada kursi bus yang sedang melaju kencang menyusuri jalan raya kota Solo. Hari ini hari Selasa, dan tak seperti biasanya, ini hari pertama hujan saat pagi di musim penghujan yang telah berlangsung selama 3 bulan ini. Dinginnya udara pagi, membuat tubuh mungilku ini enggan untuk mengendarai sepeda motor sendiri ke sekolahku. Apalagi, jarak rumah dari sekolahku, tergolong jauh untuk ukuran anak sekolah sepertiku. Fiuhh...betapa lelahnya tubuh ini, tak kusangka berada di tingkat 3 SMA, cukup membuat diriku sadar akan betapa beratnya perjuangan seorang murid. Aku tak habis pikir, bagaimana dengan para siswa yang hanya keluyuran, main, shopping, atau menjadikan sekolah sebagai ajang ‘gaul’ saja, ya, itulah sebutan bagi para murid kebanyakan jaman sekarang. Dengan modal beken dan harta orang tua mereka, banyak yang memandang sebelah mata mengenai arti sekolah ini. Karena itulah, kadang aku merasa bersyukur dilahirkan di keluarga yang sederhana. Dengan anggota keluarga yang selalu menyayangiku, dan selalu membimbingku. Buat apa materi berlebih, jikalau itu bukan milik kita, kita sendiri kelak yang harus mencari itu semua, tentunya dengan jalan usaha keras, mulai sejak kini. Itulah hal yang selalu diingatkan oleh ayahku, orang yang sangat bertanggung jawab di dalam keluargaku.
“Manahan, manahan, Manahan” lamunanku buyar ketika dikejutkan oleh suara kernet bus yang memberi tahu bahwa bus yang kutumpangi telah sampai di manahan. Meskipun enggan, kubangkitkan diriku untuk menuju ke pintu keluar yang tak jauh dari tempatku duduk. Begitu bus berhenti, cekatan aku berlari keluar untuk segera menuju tempat yang teduh dari dinginnya air hujan. Tak seperti biasanya pagi ini begitu lengang, di sudut-sudut jalan maupun trotoar,
hanya sedikit kulihat orang berlalu-lalang untuk memulai aktivitas kesehariannya. Dengan langkah kecil di sepanjang trotoar, kulangkahkan kakiku. Setelah beberapa meter, baru aku susuri jalan setapak yang menghubungkan jalan raya dengan sekolahku.
Ternyata bukan hanya di jalan saja yang sepi. Suasana sekolahku pagi inipun tak seperti biasanya, baru sedikit murid-murid yang berjalan di sepanjang lobi kelas. Entahlah, mungkin bukan hanya aku saja yang merasa enggan di hari yang dingin ini. Sesampainya di kelas, kurebahkan diriku di atas meja, letih rasanya tubuh kecil ini. Di kelas masih sangat sepi, hanya ada diriku dan suara detik jam dinding yang menggema di seantero kelas. Dinginnya sang bayupun berhembus dari arah selatan, dari jendela yang tak berkaca, yang sebelumnya dipecahkan oleh salah seorang temanku yang kurang berhati-hati. Memang, ruang kelasku tergolong sangat luas, bahkan di bagian belakangnyapun bisa dijadikan arena untuk bermain bola bagi para penghuni kelas ini. Lucu juga jika mengingat hal itu semua. Kita sudah hampir lulus SMA, masih saja punya sifat kekanak-kanakan seperti dulu. Kalau kupikir-pikir, kelihatannya baru kemarin juga aku merayakan pesta kelulusan waktu SMP, toh kini tidak terasa sudah hampir duduk di bangku perguruan tinggi. Memang, waktu begitu terasa cepat berlalu.
Sedang asyik-asyiknya menerawang, samar-samar kudengar suara langkah kaki orang berjalan memasuki ruang kelasku. Saat kutengok, ternyata Rulita, salah seorang siswi terajin di kelasku.
“Pagi Wan, tumben jam segini sudah berangkat”. sapanya padaku.
“Ah, engga’ koq Rul, tadi naik bis soalnya”, jawabku.
“ooh, pasti gara-gara hujan ya”, balasnya. “Iya”, sahutku.
Tiba-tiba kudengar suara langkah orang berlari dari luar, begitu masuk, ternyata itu adalah Rindang, teman sebangkuku. Dengan tergopoh-gopoh dia menuju kepadaku. “wan,wan” sahutnya.
“iya, ada apa Rin, koq kayaknya tergesa-gesa begitu”.
“Anu,anu, aku pinjem PR matematikamu” katanya dengan terengah-engah.
“oh, bilang dong dari tadi, kirain ada apa, nih”. balasku, sambil menyodorkan buku matematikaku kepadanya. Memang, Rindang adalah teman akrabku sejak kelas satu dulu, aku akrab sekali dengannya, saking akrabnya, banyak yang mengatakan kalau kami bersaudara. Kekocakannya itulah yang membedakan ia dengan teman yang lainnya, kalaupun disuruh memilih, aku lebih baik kehilangan dua atau tiga temanku daripada kehilangan teman seperti dia. Meski sedang serius mengerjakan PR pun, wajah kocaknya itu senantiasa menunjukkan keramahan pada dirinya.
Lamunanku terhenti, tatkala kudengar suara seorang wanita berteriak-teriak di dalam kelasku. “Aduuuh, bagaimana ini., aku belum ngerjain PR, eh, PR nya siapa yang mau dipinjamkan sama cewek cantik ini ya?” Oooh.... ternyata itu adalah suara Diana, cewek berada, yang begitu sombong akan kelebihan dari dirinya itu. Tentunya dengan segala kelebihan yang ada pada dirinya, mudah baginya untuk mendapatkan perhatian atau simpati dari para murid laki-laki. Tapi tentunya tidak bagi seorang yang berkarakter sepertiku ini. Kulihat, dari tempatku duduk, dia mendapat pinjaman buku PR dari Angga, cowok yang juga begitu mengagumi Diana.
“Nih Di.. kupinjamkan buku PR ku,” kata Angga
“Oh, kamu baik sekali Ngga,”balas Diana, dengan senyum palsu yang penuh goda.
Mungkin bagi orang sepertiku, cinta hanyalah sebuah kata yang tidak akan pernah ada dalam kamus remajaku. Bagaimana mungkin orang desa yang begitu sederhana sepertiku bisa mendapatkan cinta dari orang kota yang kebanyakan berasal dari kaum berada. Mungkin lain ceritanya dengan Rindang, dia termasuk siwa bekenz dari kelasku, dengan ketampanan dan asal usul keluarganya, membuat banyak murid cewek melirik padanya. Tapi selama menjadi temannya, jarang kulihat dia berjalan dengan wanita. Itulah yang semakin membuatku kagum padanya. Dia tidak sombong akan kelebihan atas dirinya itu.
Bel berbunyi dua kali, menandakan waktu pelajaran akan dimulai. “Yes, akhirnya selesai juga,” tiba-tiba terdengar suara Rindang mengagetkanku.
“ah, biasa aja gitu lho Rin”, timpalku.
“Nih, makasih ya Wan dah mau minjemin aku PR, besok gantian aku yang minjemin kamu deh,” kelakarnya sambil menggodaku.
“Ah, kamu mana mungkin ngerjain PR, yang ada juga paling aku lagi yang ngerjain,” jawabku sambil tersenyum padanya.
“weh, kamu bisa aja Wan,” lanjutnya kagi.
Suasana kelas berangsur diam, ketika Bu Indriyani, guru kimia kami berjalan memasuki kelas. Seperti biasa, pelajaran dimulai dengan membaca doa bersama terlebih dahulu. Senang juga rasanya, karena jam pertama diajar oleh bu Indriyani, guru yang senantiasa ramah dan berhiaskan senyum dalam mengajar. Pelajaranpun dimulai, dengan suara khasnya, Bu Indriyani mulai menjelaskan materi tentang Radioaktif.
Baru beberapa menit berselang, terdengar suara pintu kelasku diketuk, dan ternyata bu Haryati, wali kelasku akan memasuki kelas, disampingnnya, kulihat seorang siswi yang kelihatannya belum pernah kujumpai di SMA 4, tapi siapa, aku kurang begitu jelas karena jarak pintu dari tempatku duduk cukup jauh. Setelah meminta ijin dan bercakap sebentar dengan bu Indriyani, bu Haryati kemudian memulai berbicara,
“Anak-anak, hari ini kalian akan mendapatkan seorang teman baru, seorang anak putri, pindahan dari Semarang.”
Dengan melambaikan tangan sebagai isyarat untuk masuk ruang kelas, bu Haryati menyuruh siswi baru itu masuk. Spontan saja semua pasang mata mengarah ke arah siswi baru yang sedang berjalan masuk ke dalam kelas itu. Jujur, pertama melihat saja aku sudah kagum akan kecantikannya, “Sungguh cantik,” gumamku dalam hati. Tubuh sintalnya dibalut seragam rapi, rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai, seakan memperlihatkan bahwa sang empunya adalah orang yang rajin merawat diri. Teman-teman laki-laki di kelasku pun banyak yang berdecak kagum melihat kecantikannya itu. Tak terkecuali Rindang, dengan lagaknya yang sok tapi aneh itu dia berkata kepadaku, “Wan, gileee, cantik bener, gak ada yang sama di SMA kita ini, lebih cantik dari Desi bro,” sahutnya. Tak kusangka dia masih ingat juga akan cinta pertamanya itu, ya, Desi, dia adalah masa lalu yang tak kan terlupakan bagi Rindang.
“Tembak aja Rin,” kelakarku padanya.
“hahahaha,” balasnya tertawa seakan mengejek padaku.
“Nah, inilah keluarga baru XII IPA 6 anak-anak, silahkan perkenalkan diri kamu nak,” kata bu Haryati sambil merangkul siswi baru itu dan mempersilakan dia untuk memperkenalkan dirinya.
“Perkenalkan, nama saya Ranita Akhwati, 17 tahun, asal Semarang.” kata siswi baru tsb dengan senyum menghiasi wajahnya yang kecil itu.
“wah, nama yang bagus ya Wan,” celetuk Rindang tiba-tiba.
“eh, he eh,” sahutku sekenanya.
“Baiklah, anak-anak, ibu harap kerjasama yang baik dari kalian, jadikan kelas XII A 6 ini layaknya keluarga kedua kalian semua, jangan sampai ada yang saling memusuhi ataupun dimusuhi.” pesan bu Haryati diakhir pembicaraan beliau.
“baik bu....,” jawab kami serempak
“baiklah, Ranita, silakan memilih tempat duduk yang kosong, ibu harap kamu betah di keluargamu yang baru di XII A 6 ini.” lanjut bu Haryati
“Baik Bu,” pelan siswi baru itu menjawab.
Beriringan dengan keluarnya bu Haryati dari ruang kelas, siswi baru itupun berjalan menuju tempat duduk yang kosong di deret belakang. Sebenarnya ada banyak bangku kosong di barisan belakang, tetapi siswi baru itu memilih duduk dibelakang tempat dudukku dan Rindang.
Pelajaranpun dimulai kembali, tak kusangka kini aku menjadi kurang begitu perhatian akan pelajaran yang diterangkan oleh bu Indriyani, sekilas hanya terdengar suara khas bu Indri menerangkan materi kimia yang biasanya dapat membuat diriku tak berkedip dari papan tulis. Pikiranku kini tak karuan, entah mengapa aku menjadi gugup duduk di depan Ranita, siswi baru tsb. Kucoba menengok teman sampingku, ternyata Rindang malah sedang asyik mencet hp kesayangannya itu. Dengan mimik yang berubah-ubah, entah apa yang sedang ia pikirkan dengan benda kotak yang begitu banyak digandrungi kalangan remaja itu di tangannya. Jam demi jam pelajaranpun berlalu, kurasakan mataku sudah serasa ingin dipejamkan. Untung saja pelajaran terakhir hari Selasa adalah sejarah, dan kebetulan hari itu pak Hari, guru sejarah di kelasku berhalangan hadir. Sehingga aku dapat mengistirahatkan pikiranku sejenak.
Tiba-tiba saja terbesit dalam pikiranku tentang Ranita, siswi baru yang kini sedang duduk di belakang tempat dudukku. Kurasakan dia adalah anak yang pendiam, paling dia hanya menanggapi beberapa teman yang ingin kenalan saja dengannya, selebihnya itu, tak kujumpai ia bercakap dengan teman-teman yang lain. Jangankan dengan orang lain, denganku yang duduk persis di depannya saja, tak terucap sepatah katapun dari lisannya. Ah... tapi apa peduliku, nanti lama kelamaan pasti juga akan akrab dengan sendirinya, pikirku dalam hati.
Bel berbunyi tiga kali, tanda bahwa hari pelajaran telah usai, kukemasi buku-bukuku yang berserakan di atas meja. Aku ingin cepat sampai rumah dan mengistirahatkan pikiranku, gumamku dalam hati. Oleh karena itu, tawaran dari Rindang yang mengajakku untuk pergi ke Grand Mall aku tolak.
“Wan, mampir ke SGM yuk, aku mau beli sepatu nie, sekalian mau nyari kaset DVD terbaru si Bolang,” tuturnya.
“Ah...jangan sekarang Rin, lain kali aja ya, aku capek banget nie,” tukasku cepat.
“Yauda deh, aku gak maksa kok, kalau gitu minggu depan ya? Jangan takut, imbalannya ntar kutraktir, OK!” Lanjut Rindang
“terserah kamu aja deh Rin...,” sambungku.
“OK bro!!!,” jawab Rindang sambil nyelonong keluar kelas.
Di tengah terik matahari, aku berjalan pelan menyusuri jalan setapak untuk sampai di jalan raya. Alangkah terkejutnya aku tatkala sebuah mobil Mercedes melaju cukup kencang di sampingku, untung aku cepat menghindar, sehingga aku tidak terserempet oleh mobil mewah yang ugal-ugalan itu. Sempat juga aku mengumpat pada sang empunya mobil, “Hei.... punya mata apa tidak sih,” teriakku. Tapi agaknya sang pemilik mobil tak begitu menghiraukannya, mobil berplat “H” atau Semarang itu terus saja melaju kencang. Ah...memang, jengkel juga aku dengan tingkah polah para orang kaya yang seenaknya. Tapi apa mau dikata, di jaman seperti sekarang, uang adalah raja, siapa yang punya uang, maka dia yang pegang kuasa. Fiuhh... setelah menghela nafas panjang untuk menenangkan emosiku, ku lanjutkan perjalananku pulang ke rumah untuk segera tidur mengobati rasa lelah tubuh ini.
Buku yang berserakan diatas tempat tidurku belum juga dirapikan, dengan mata yang masih enggan dibuka, kutengok jam dinding yang ada di kamarku, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, rupanya aku tertidur cukup lama sesudah mandi setelah pulang sekolah tadi. Tak kusangka niat untuk mengulang pelajaran tadi di sekolah malah seakan cepat membiusku untuk segera tidur terlelap. Tubuhku masih enggan untuk digerakkan, apalagi otakku untuk berpikir tentang pelajaran. Kutatap langit-langit kamarku, aku mencoba menerawang jauh memikirkan masa depanku kelak, begitu ingin aku membahagiakan kedua orangtuaku di kemudian hari nanti. Tapi agaknya jadwal belajarku malam ini terganggu, setelah beberapa menit berpikir tentang masa depanku, kini mataku yang ingin diistirahatkan kembali. Untung saja PR buat jadwal besok, telah aku kerjakan kemarin. Kini aku benar-benar bisa mengistirahatkan tubuh lemahku tanpa harus berpikir tentang pelajaran lagi.
Kriiiiing... dering jam weker di atas meja belajarku membangunkanku dari tidur malamku. Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi, saatnya memulai aktivitas kembali. Dinginnya pagi inipun membuatku kembali enggan untuk menaiki sepeda motor sendiri ke sekolah. Oleh karena itu, pagi inipun aku lebih memilih untuk naik bus kembali. Tak ada yang spesial dengan hari ini, tetap saja seperti hari kemarin, susana kelas yang serupa, selalu menghiasi hari-hariku sebagai seorang pelajar. Gelak tawa Rindang, sahabat karibku itulah yang selalu bisa membuatku tidak merasa bosan. Bahkan sampai pulang sekolahpun tak ada peristiwa yang bisa membuatku tertarik. Cuma, tak kusangka siang ini begitu panas sekali, andaikan aku tahu bakal sepanas ini, pasti aku lebih memilih untuk naik sepeda motor sendiri ke sekolah. Bahkan saat sedang menunggu bus yang kunantipun, terasa begitu lama rasanya. Setelah beberapa menit menanti, lega rasanya tatkala kulihat di kejauhan bus “Jaya Putra” yang akan kutumpangi sudah terlihat. Cepat kulambaikan tanganku untuk menghentikannya, dengan sigap aku naik bus, ternyata di dalamnya sudah banyak berisi oleh para penumpang yang kebanyakan didominasi oleh para anak sekolah. Kulihat dua tempat duduk berjejer di bagian tengah bus masih kosong. Tentunya kesempatan ini tak kusia-siakan, dengan cepat aku mengambil posisi di tempat duduk yang kosong tersebut. Laju bus yang kan berangkat terhenti sesaat tatkala di kejauhan ada seorang anak perempuan yang berlari-lari kecil, tanda ingin naik bus yang juga kutumpangi. Tapi aku tak begitu memperhatikannya. Bus yang kutumpangi mulai melaju setelah penumpang terakhir itu masuk. Tentu saja anak perempuan itu akan duduk disampingku, karena memang hanya tempat duduk disampingkulah yang kosong.
Anak perempuan itu kemudian minta ijin untuk duduk disampingku, tentu saja dengan senang hati aku mempersilakannya untuk duduk, dan begitu kulihat wajahnya secara langsung, alangkah terkejutnya aku mengetahui kalau perempuan itu adalah Ranita, siswi yang baru 2 hari menjadi anggota baru XII A 6. Dengan agak malu-malu aku memberi salam kepadanya.
“Lhoh? Ranita, selamat siang.”
“selamat siang, Iwan ya?” balasnya.
“Iya,” sahutku
Setelah dia duduk. Lama juga kami berdiam, kalau tidak aku duluan yang mengajak berbicara, mungkin susana seperti itu akan berlngsung sampai nanti kami turun
“Biasanya juga naik bis ya Ranita?” tanyaku memulai pembicaraan.
“engga’, hari ini sopir bapak baru sakit, jadi nggak ada yang mengantar,” jawabnya.
Lewat pengakuannya itu, aku baru tahu klo ternyata dia adalah anak orang berada.
“oh,” balasku sekenanya.
“Eh, iya Wan, kemarin siang aku minta maaf atas kejadian itu ya?” tuturnya.
Tentu saja aku bingung, atas kejadian apa sehingga dia minta maaf padaku?
“Lhoh? Mang Ranita punya salah ma aku?” tanyaku dengan agak bingung.
“Maaf. Kemaren kamu hampir terserempet mobil kan? Itu sopirku kemarin kurang berhati-hati,” jawabnya.
Oh, ternyata mobil Mercedes yang kemarin itu punya Ranita, batinku dalam hati.
“eh, eh, nggak apa-apa kok Ranita, toh aku juga gak tergores sedikitpun bukan? balasku.
“Bener??? Maaf ya Wan. Eh, tapi panggilnya cukup Rani aja ya? lebih enak didengarnya,” katanya dengan senyuman khas yang menghiasi wajahnya.
Pembicaraan-pembicaraanpun berlangsung terus-menerus, tak kusangka siswi berkulit putih ini ternyata asyik juga diajak bercakap. Tak henti-hentinya dia bercerita tentang sekolah maupun teman-temannya dulu. Dari pengakuannya, kini kutahu bahwa dia pindah dari sekolah lamanya karena harus ikut orangtuanya bekerja di Solo.
Deru suara mesin bus, terus saja mengiringi perjalananku untuk pulang ke rumah. Dari pembicaraan dengan Rani, aku tahu betapa kesepiannya dirinya, ternyata di usianya yang masih tergolong muda itu, ibu yang sangat disayanginya, telah meninggalkannya lebih dulu. Di rumahnya hanya ada ayah dan juga kakak laki-lakinya yang telah kuliah semester akhir, itupun diluar kota. Sedangkan ayahnya sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari. Matanya berkaca-kaca taatkala dia bercerita tentang keadaan keluarganya itu. Sungguh gadis yang malang, pikirku dalam hati. Meskipun tinggal di perumahan elit di pinggiran kota Solo, ternyata tak menjadi jaminan akan kebahagiaan seseorang. Terbukti pada teman baruku, Rani. Aku bersyukur, masih bisa terus bersama dengan keluargaku yang begitu aku sayangi.
Panasnya siang hari ini terasa begitu menyengat, walaupun berada dalam bus, dapat kurasakan panasnya udara di luar sana. Kutengok teman dudukku, kini sudah berganti dengan seorang lelaki separuh baya yang mengenakan topi marinir di kepalanya. Ah, kenapa juga rumah Rani di perumahan Tabenan. Kalau tidak, tentu ia kini masih menjadi teman dudukku. Tak kusangka, kini wajah manisnya itu selalu menghiasi pikiranku. Apakah ini yang namanya cinta...? Ah, tapi coba kutepis jauh-jauh pikiran itu, aku tak akan mendapatkan apa-apa dengan cinta-cinta itu. Lagipula, perbedaan di antara kami jelas terlihat. Aku tak mungkin mengejar matahari di tengah gelap malam. Sanggung, Sanggung, kernet bus berteriak-teriak menandakan tujuanku telah sampai. Kulangkahkan kakiku keluar, panasnya udara siang ini, menyambutku di luar bus. Kususuri jalan kecil yang menghubungkan rumahku dengan jalan raya. Memang, cukup jauh juga, tapi tekad untuk segera beristirahat, bisa mengalahkan segalanya.
Hari-hariku selanjutnya, berlangsung seperti biasanya. Tapi kini yang membedakan adalah tentang aku dan Rani, setelah perjumpaanku dengannya di bus tempo hari, kini kami semakin akrab. Jangankan untuk sekedar bertanya tentang pelajaran atau pekerjaan rumah, bahkan kami sering bercerita tentang diri pribadi masing-masing. Pernah juga, dia pulang bareng denganku. Dan siang inipun, aku pulang bareng dengannya, soalnya Rani berjanji akan meminjamkan catatan Kimianya padaku. Laju sepeda motorku berhenti di depan sebuah rumah besar yang tak jauh dari pusat kota Solo. Ya, itu adalah rumah Rani. Dengan senyumnya yang khas itu, dia mengajakku untuk masuk walau hanya sekedar untuk minum air putih saja. Dengan agak ragu-ragu, kutuntun sepeda motorku masuk ke dalam rumah yang berpagar tinggi itu. Aku takjub akan keindahan rumah besar itu, dengan taman yang tertata rapi dan air mancurnya, laksana menyediakan suasana asri bagi pemiliknya. Akupun tak berlama-lama di rumah Rani, setelah dia menyerahkan buku catatan kimianya padaku, akupun langsung bergegas pulang. Tawarannya untuk menyediakan air minum buatkupun, terpaksa aku tolak. Terus terang, aku masih merasa canggung bertamu dirumahnya. Setelah keluar dari rumahnya, aku masih harus menyusuri jalan raya kurang lebih 8 km untuk sampai ke rumahku.
Hoahmmmm.... aku terbangun, tatkala mendengar suara adzan Maghrib malam ini, tak terasa, sepulang dari rumah Ranita tadi aku tertidur hingga larut. Setelah beribadah dan mandi, kutekadkan diriku untuk belajar malam ini. Soalnya masih banyak materi yang juga belum dapat kukuasai. Setelah menempatkan posisi belajar yang kukira pas dan baik, kumulai belajarku dengan membuka buku kimia. Oh, iya, aku tersadar bahwasanya aku harus mencatat kekurangan materiku minggu lalu, untuk itulah tadi aku meminjam buku catatan kimia Rani. Dengan agak ragu-ragu kubuka buku bersampul merah itu, ternyata catatannya rapi juga, gumamku dalam hati. Dengan tekad yang menggebu-gebu, kumulai mencatat di buku tulisku jua. 20 menit berlalu, ternyata cukup lama juga waktu yang kuhabiskan untuk mencatat. Kucoba meregangkan tubuhku dengan menyilangkan kedua tanganku ke samping. Tapi,,, ups, ternyata lengan panjangku menyenggol buku catatan Rani yang ada di atas mejaku hingga jatuh ke bawah. Dengan cepat kupungut buku itu, akan tetapi tiba-tiba ada secarik kertas warna ungu yang terlipat rapi jatuh dari dalam buku tersebut. Dengan ragu-ragu kupungut kertas itu, “berdosakah aku bila aku membaca isi tulisan di dalam kertas ini ya Tuhan?” bisikku dalam hati. Rasa ingin tahuku muncul begitu besar, maka, dengan memberanikan diriku, aku buka kertas yang beraroma wangi itu. Ternyata di dalamnya adalah sobekan dari catatan hariannya, baris demi baris kubaca, ternyata itu adalah catatan hariannya saat dia bertemu denganku dulu dibus.
Rabu, 06 Desember 2007
Dear diary,
Hari ini adalah hari keduaku berada di sekolahku yang baru di Solo, ternyata sulit juga beradaptasi di lingkungan yang baru. Beraneka karakter dan sifat teman-teman baruku belum banyak kukenal. Mungkin akan butuh waktu yang agak lama bagi orang pendiam sepertiku ini untuk dapat menempatkan diri di kelas XII A 6. Hemmmh... tapi ada satu orang murid yang menarik perhatianku, sejauh yang kulihat, dia orangnya ramah, baik, dan juga murah senyum. Ternyata hal itu benar, siang ini, saat naik bus, kebetulan aku bertemu dengan dia, “Iwan”, itulah nama yang kudengar tatkala teman-teman lain memanggilnya. Aku berbincang banyak dengannya, tak kusangka, dia begitu enak diajak mengobrol. Dan entah kenapa malam ini, sebelum tidur, aku selalu saja terpikir olehnya. Entah rasa apakah ini, tapi yang pasti aku merasa tak pernah bosan bila dekat dengannya..... Mungkinkah ini yang dinamakan cinta.....
Sreek, sreek,,, kututup kembali lembaran kertas itu, kini perasaanku menjadi dag-dig dug tak karuan ternyata bukan hanya aku saja yang selalu terbayang-bayangi oleh sosok lembutnya itu, tak kukira, ternyata dia juga mengalami hal yang sama denganku. Pikiranku buyar, kini aku tak konsentrasi lagi pada buku-buku pelajaran yang berserakan di atas mejaku. Pikiranku kini melayang jauh, jauuuuh sekali , mungkinkah orang sepertiku pantas disampingnya??? Apakah ini memang benar cinta? Ataukah hanya kagum sementara? Ah, aku masih sangat bingung memikirkan itu semua.
Hari-hari selanjutnya menjadi hari-hari yang tidak biasa dalam hidupku, kini aku lebih sering menghabiskan waktuku dengan melamun. Walaupun harus kuakui, kini hubunganku dengan Rani berlangsung lebih akrab. Tak jarang, para teman-teman juga sering ngrecokin kita berdua. Ah, tapi apa peduliku,toh kita juga gak ada hubungan apa-apa. Tapi ada satu hal yang membuatku merasa aneh, yaitu tentang Rindang. Kini dia menjadi orang yang begitu pendiam. Bahkan untuk berbicara denganku, terkadang bertemu saja, dia tak pernah ucap salam kepadaku, duduknyapun, kini dia lebih memilih sendiri daripada harus duduk berdampingan denganku di kelas. Ya, aku menyadari hal itu, tapi sejauh pengamatanku, aku tak pernah melakukan salah padanya. Oleh karena itulah aku enggan untuk mendiskusikan masalah ini dengannya.
Siang ini, tak disangka udara begitu panas, tenggorokankupun rasanya sudah betul-betul kering. Untuk itu, sebelum pulang, aku menyempatkan diriku pergi ke kantin dahulu. Tak kusangka, ternyata di tengah jalan aku bertemu dengan Rani, tentu saja aku menjadi salah tingkah dibuatnya.
“Emm, belum pulang Ran?” tanyaku.
“Belum kok Wan, tadi baru ke kantor guru, mengumpulkan tugas bahasa kemarin, lha kamu juga belum pulang?” tanyanya kepadaku.
“Eh, ini, aku mau ke kantin dulu. Kamu mau sekalian gak?” ajakku dengan perasaan dag dig dug.
“Emm, boleh juga, lagipula aku juga belum dijemput kok.” Jawabnya.
Tentu saja jawabannya itu begitu membuat senang hatiku, walau harus kuakui, ada perasaan canggung juga.
“yauda, yuk, ajakku.”
Ternyata rencanaku lebih dari yang kuharap. Aku terpaksa ikut makan juga di kantin, karena dipaksa olehnya. “Padahal niatku cuma mau minum es saja,” batinku dalam hati. Tapi berhubung Rani yang mengajak, tentu aku tak mau untuk menolaknya. Lama juga kami makan sambil berbincang-bincang. Seandainya Rindang tak datang ke tempat itu, pasti obrolan kami akan berlangsung lebih lama. Tampaknya ada suatu hal yang ingin diomongkan oleh anak itu kepadaku. Terlihat dari raut mukanya yang begitu serius.
“Sini kamu Wan,” katanya kasar sambil menarik lengan bajuku.
“ada apa sih Rin,” jawabku sambil mengikuti ajakannya menjauh beberapa meter dari tempatku duduk dengan Rani.
“Kamu tega ya sama teman sendiri,” katanya tiba-tiba.
Tentu saja hal itu sangat membuatku bingung. “Kamu ngomong apa sih rin”. Balasku
“jangan pura-pura bego sie loe, gue tahu tentang hubungan kamu sama Rani, loe tega nusuk teman dari belakang ya?” katanya ketus.
Dari pembicaraannya, aku tahu klo sebenarnya selama ini Rindang juga menaruh hati pada Rani.
“ohh, kamu suka sama Rani ya? Lalu apa masalahnya denganku? Aku juga gak ada hubungan apa-apa dengan dia”,” balasku.
“ah,,,, jangan munafik loe, gue tahu semuanya. Udaa aah. Bulshitt gue temenan sama loe.” Katanya ketus diakhir pembicaraannya. Kini dia telah berlalu menjauh dariku. Aku tak habis pikir, kenapa seperti ini jadinya. Dengan pikiran kacau, aku kembali pada Rani dan mengajaknya pulang. Aku ingin segera sampai di rumah untuk menenangkan pikiranku.
Pagi ini tak seperti biasanya aku berangkat sekolah agak pagi, entah kenapa sedari tadi malam, aku tak dapat memejamkan kedua mataku ini. Di depan pintu kelas, kulihat sudah banyak teman-teman berkerumun, tapi apa yang mereka kerumuni, aku tak tahu itu?? Sampai salah seorang temanku, yaitu Angga memberitahukan apa yang sebenarnya mereka sedang perdebatkan.
“Wan, kamu jangan kaget klo mengetahui hal ini ya,” katanya.
Tantu saja hal itu begitu membuat hatiku penasaran. “Memang ada apa sih Ngga,” jawabku dengan rasa ingin tahu.
“Nih, kamu lihat sendiri deh,” katanya sambil memperlihatkan layar hp yang ia pegang kepadaku. Dengan deg-degan akupun melihat apa yang sebenarnya mereka ramaikan itu.
Laksana disambar geledek di siang hari, aku begitu terkejut menyaksikan apa yang terpampang pada layar hp temanku itu. Sungguh aku tak percaya menyaksikannya, di layar itu, terpampang dengan jelas foto Ranita, dengan pose setengah telanjang yang begitu membuat hatiku ini remuk redam. Belum lagi masalahku dengan Rindang usai, kini aku dihadapkan dengan hal yang sungguh sangat menyayat hatiku. Suara riuh para teman-temanku, sudah tak kuhiraukan lagi.
Di tengah kemelut hatiku yang tak karuan, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku dan mengucapkan selamat pagi kepadaku. Begitu kutengok, ternyata orang itu adalah Ranita. Tentu saja, aku kini begitu muak melihatnya, tak kusangka orang yang menjadi dambaan hatiku, tega melakukan perbuatan asusila seperti itu. Kusisihkan tangannya dari bahuku dengan kasar. Aku terus saja berlalu tanpa meninggalkan sepatah katapun untuknya. Kulihat di kejauhan, dia terus menangis dan berlari tatkala dia mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Ah.... sungguh kacau pikiranku kali ini. Rasanya sudah mau pecah saja. Tak kusangka semuanya menjadi begini. Fiuhh.... pelajaran demi pelajaranpun tak ada satupun yang bisa masuk dalam otakku hari ini. Aku terus saja memikirkan kedua orang yang meninggalkan bangku kosong di kelas ini, yaitu Rindang dan Ranita...... Masih teringat dipikiranku, gelak tawa Rindang, dan juga janjinya untuk memberikan aku contekan PR nya, juga saat ia berjanji akan mentraktirku di SGM. Ah, kenapa aku menyadari hal ini sangat lama, pikirku penuh penyesalan.
Tiga hari berlalu semenjak peristiwa itu, kini tak pernah kujumpai Rindang ataupun Rani masuk di kelas. Tentunya hal itu semakin membuat pikiranku tak keruan. Di hari berikutnya, aku benar-benar sudah enggan berangkat ke sekolah. Kubelokkan ban motorku menuju jalan Slamet Riyadi yang ada di jantung kota Solo, aku ingin mengistirahatkan pikiranku sebentar, dengan menjauhi bangku sekolah, pikirku. Ternyata di SGM pun tak jauh beda dengan di sekolah, perasaan sepi selalu saja menghantuiku. Ku dudukkan diriku di sebuah tempat duduk yang ada di lobi timur gedung mall yang megah itu. Tak kusangka kini aku menjadi teringat akan sahabatku, Rindang. Dengan memandangi food court yang membentang dihadapanku, aku teringat akan janjinya dulu mau mentraktirku. Tak kusangka hal itu ternyata hanya menjadi janji yang tak akan pernah terpenuhi saja.
“cesss...” tiba-tiba ada sebuah kaleng dingin yang menempel di pipi kiriku. Begitu kutengok ke kiri, ternyata Rindang...., sahabat karibku itu telah ada di samping kiriku. Sambil menyodorkan minuman kaleng dingin kesukaanku, dia tersenyum bahagia penuh arti. Aku masih belum percaya dengan apa yang kulihat, benarkah dia Rindang...?
“Hei, ngapain kamu bengong Wan, “ ini benar aku, Rindang, katanya dengan senyum khas yang dulu begitu kukenal.
“Heh, ini benar kamu ya Rin,” sahutku, sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan rasa tak percaya.
“Iya, iya, sudah. Aku mau minta maaf sama kamu Wan, ternyata selama ini yang aku dengar salah, memang, kamu tidak pernah menghianatiku sebagai teman.” Katanya dengan penuh kesabaran.
“iya Rin, aku juga minta maaf ya, aku tak pernah tahu bagaimana perasaanmu.” Jawabku.
“Tak usah minta maaf, sekarang semuanya sudah jelas Wan. Ternyata Diana lah yang telah mengadu domba kita, termasuk dengan foto Rani yang tidak benar itu,” tuturnya.
“haaah... apa kamu bilang Rin, jadi itu semua adalah rekayasa Diana, iya?” tanyaku dengan nada terkejut.
“Iya Wan, ternyata selama ini, Diana tidak suka ada siswi yang melampaui kecantikan ataupun kekayaannya, untuk itulah, dia mencoba mengeluarkan Rani dari sekolah.” tutur Rindang.
“Berarti aku sungguh bersalah pada Rani Rin, lalu bagaimana dengan Diana sekarang, orang seperti dia tak pantas tetap ada di kelas kita” balasku.
“Soal Diana, hari ini dia sudah resmi dikeluarkan dari sekolah kita Wan. Yang jadi masalah adalah Ranita, ini sudah hari ke 3 dia koma di rumah sakit.” Lanjut Rindang.
“Hah... apa? Rani koma????” kataku dengan terkejut.
“Iya Wan, ternyata di dalam tubuh kecilnya itu, dia mengidap kelainan jantung. Oleh karena itu, jika ada hal yang membuatnya shock, maka jantungnya akan mengalami gangguan.” jelas Rindang.
Begitu terkejutnya aku mengetahui kenyataan seperti itu, kenapa hal seperti ini tak aku ketahui sejak awal dulu.
“kalau begitu, lekas kita ke rumah sakit membesuk Ranita Rin,” kataku.
“Baik, ayo, jangan buang-buang waktu Wan,” balas Rindang.
Suasana di rumah sakit sudah begitu ramai, kamar ICU tempat Ranita dirawat, ternyata sedang dipenuhi oleh para kerabatnya. Di luar terlihat banyak orang sedang menangis tersedu-sedu, aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Langsung saja, setelah berlari-lari, aku bertanya pada salah seorang perawat yang kebetulan baru keluar dari kamar ICU.
“maaf sus, mau tanya, apakah benar yang dirawat di kamar ICU itu adalah Ranita Akhwati, umurnya kira-kira sebaya dengan kami,” kataku.
“Oh iya dik, benar,”
“lalu, bagaimana keadaannya sekarang sus,” lanjutku dengan penuh rasa ingin tahu.
“maaf, adik terlambat, sdri Ranita Akhwati baru saja berpulang kepada sang Pencipta pagi tadi,” jawab perawat tadi.
Begitu terkejutnya aku mengetahui kenyataan seperti itu. Aku tidak kuat menerima itu semua, tiba-tiba saja pandangan mataku kabur, gelap, dan aku tak sadarkan diriku.
Tempat itu begitu indah, , dengan padang bunga yang menghampar, angin sepoi-sepoi yang berhembus laksana mengiringi gerakan mekarnya bunga yang melambai-lambai. Aku tak tahu kenapa aku bisa berada di tempat seperti ini, kulihat di kejauhan ada seorang wanita yang sedang menyiram beberapa bunga yang ada. Begitu kudekati, betapa terkejutnya aku mengetahui bahwa itu adalah Ranita, dengan senyumnya yang indah, terindah yang pernah kulihat selama ini. Dia tak banyak mengucap kata padaku, tangan kecilnya itu menggenggam secarik kertas warna ungu yang tak lain adalah sobekan kertas buku hariannya dulu. Dengan tangan bertaburan remahan mahkota bunga berwarna putih itu, dia menyerahkan sobekan kertas itu padaku. Tentu sja aku menerimanya. Setelah itu, Ranita seakan menjauh dariku, bayangan dirirnya semakin kecil-kecil, hingga hampir tak terlihat olehku. Aku berteriak-teriak memanggilnya, aku berlari mengejarnya, hingga aku terjatuh,....
“Breeek....,” tiba-tiba saja aku terbangun, kurasakan seluruh tubuhku terasa begitu lemas unjtuk digerakkan, ternyata tadi hanyalah mimpi. Kuedarkan pandangan di sekelilingku, ternyata aku sudah di rumah. Di sampingku, kulihat segelas air putih dan juga sebuah tas ransel, ya, itu adalah tas ransel sahabat karibku, Rindang. Ternyata dia masih menemaniku sampai saat ini. Aku teringat kembali akan peristiwa dalam mimpiku tadi, kulihat di genggaman tangan kananku, ternyata ada serpihan mahkota bunga berwarna putih seperti yang aku lihat dimimpiku barusan. Tentu saja aku begitu terkejut dibuatnya...., dengan sisa-sisa tenagaku, kubangkitkan tubuhku untuk mengambil buku catatan kimia Ranita dulu. Kuambil secarik kertas yang ada di bagian tengah buku itu, ternyata masih seperti dulu, terlipat rapi dengan bau wanginya yang khas. Tapi, begitu terkejutnya aku saat kubuka kembali kertas berwarna ungu tsb, di bagian akhir tulisannya, terdapat paragraf baru yang ditulis dengan tinta warna merah menyala.
.................................
Kadangkala,
Orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cintanya padamu,
Karena orang itu takut, kau akan berpaling dan menjauhinya,
Dan bila dia di suatu saat ataupun suatu masa nanti hilang dari pandanganmu...,
Kau akan menyadari,
Dia adalah cinta yang tak akan pernah kau sadari,...
Kututup dan kulipat kembali kertas tersebut, sambil kurebahkan diriku di atas tempat tidurku, aku berpikir, kenapa semuanya ini terjadi begitu cepat ya Tuhan.... andai saja aku diberi kesempatan kedua, tentu aku akan mengubah segalanya. Fiuhhh,,,, kurapatkan lipatan kertas itu di atas dadaku. Kulihat, disamping tempat tidurku, telah ada sebuah buku tugas dengan Nama: Rindang fajar raharja. Dan diatasnya ada sebuah catatan kecil:
“Nih, aku tepatin janjiku Wan, cepet sembuh ya,”
“oh iya, aku titip tas dulu, nanti malam aku kembali lagi.”
Sahabatmu,
Aku hanya tersenyum saja mendapati tulisan dan buku itu. Untung saja tak semuanya terlambat bagiku, aku masih punya sahabat yang akan selalu menemaniku, dalam suka dan dukaku. Aku tak ingin membuat kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya. Wuuuus...., dinginnnya udara senja yang menerobos dicelah pintu, seakan mengiringi dukaku yang begitu dalam.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 

Cerita Areta Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting